Wednesday, April 11, 2007

NTT (bagian 3)

(Read English Version)

GAMBARAN UMUM
GIZI DAN KETAHANAN PANGAN

AKSES AIR BERSIH
Provinsi NTT dikenal sebagai provinsi kering dengan sumber air yang sangat minim, utamanya disebabkan oleh daerah resapan yang rendah dan tidak teratur, juga oleh minimnya sumber air. Daya serap batu pembentuk tanah yang rendah meghambat proses peresapan air dalam tanah. Kekeringan panjang, diikuti dengan hujan mendadak membuat penyerapan minim. Erosi, secara natural disebabkan angin dan hujan namun diperparah dengan pembabatan hutan secara liar dan ladang berpindah, juga berperan dalam mengurangi ketersediaan air tanah. Perbedaan mencolok antara Alor dan TTS dalam ketersediaan air dapat dijelaskan dengan variasi litho-logical dan hidro-geologi, juga dengan perbedaan curah hujan, dan perbedaan jumlah investasi untuk infrastuktur air.

Akses air untuk minum dan sanitasi
Sumber air untuk minum dan sanitasi di TTS dan Alor umumnya sama. Sumur terbuka paling banyak ditemui (milik pribadi atau umum) sekitar 35%, khususnya di daerah pesisir. Mata air juga banyak ditemui (30%). Mata air ini umunya dihubungkan dengan jaringan pipa. Sepuluh persen responden mendapatkan air dari pancuran yang berasal dari sumber alami, sementara 10% lainnya mengandalkan sungai sebagai sumber air utama mereka.

Di TTS, ketersediaan air menjadi masalah utama, bahkan selama musim hujan. Sumber air yang ada sangat senstif terhadap perubahan cuaca, sangat mudah mengering selama musim kemarau dan mengeruh ketika musim hujan. Sebagian besar indikator sumber air berada di bawah standar Sphere:

  • Jarak rata-rata antara rumah tangga dan sumber air adalah 710m dan umumnya tidak memperhitungkan ketinggian tanah dan medan yang licin dan berbahaya.
  • Dikarenakan akses yang sulit dan sumber yang sedikit, diperlukan waktu rata-rata 1 jam untuk mencapai sumber air dan membawanya kembali ke rumah menggunakan jerigen. Jumlah waktu yang signifikan dihabiskan setiap rumah tangga untuk mendapatkan air, yang bisa dikategorikan sebagai faktor penghambat pembangunan sosial-ekonomi.
  • Rata-rata konsumsi air (untuk minum dan sanitasi) per orang per hari adalah 14L/p/d. Angka ini kemungkinan besar menurun sangat drastis selama musim kemarau.

Indikator sumber air di daerah yang dikunjungi di Alor tampak lebih baik. Meski sebagian besar sumber air berasal dari GFS yang dibangun pemerintah yang tampaknya sebentar lagi akan berhenti berfungsi karena disain yang buruk, kurang pemeliharaan, kurang suku cadang. Meskipun aksesnya sudah lebih baik, jumlah air yang dikonsumsi per orang per hari di Alor masih sama rendahnya dengan TTS, yang mengindikasikan rendahnya sanitasi rumah tangga.

Jika ketersediaan air meningkat, mayoritas responden (60%) menyatakan keuntungan utama bagi mereka adalah peningkatan pendapatan dari hasil kbun sayur, dan 15% responden menyatakan peningkatan jumlah air yang digunakan untuk kebutuhan sanitasi.

Akses air untuk irigasi dan pertanian
Di TTS, jarang sekali rumah yang memiliki kebun sayur. Satu yang ditemui, hanya berupa kebun yang kecil dan bergantung pada air hujan. Ketiadaan irigasi ini disebabkan oleh beberapa faktor:
  • Kelangkaan sumber air, seringkali jumlahnya tidak mencukupi untuk kebutuhan minum dan sanitasi.
  • Beberapa orang sama sekali tidak menggunakan irigasi untuk ladangnya, bahkan ketika air tersedia.
  • Kurangnya tanah yang layak ditanami di sekitar sumber air yang umunmnya berlokasi jauh dari desa dan melalui medan yang curam.
Kemungkinan penanaman selama musim hujan tidak banyak dimanfaatkan masyarakat karena kurangnya lahan yang layak ditanami: jagung menjadi sumber makanan utama sehingga hampir semua lahan yang tersedia ditanami jagung. Kebun sayur di daerah yang dikunjungi di Alor sedikit lebih banyak jumlahnya daripada TTS. Meski mayoritas masih bergantung pada air hujan, peran irigasi sudah cukup signifikan. Namun, hasil pengamatan di daerah pesisir selatan, meskipun air tersedia, namun tanaman masih tidak bisa tumbuh. Hal ini disebabkan oleh kualitas tanah yang buruk, menumpuknya materi kimia/fisik di dalam tanah, dan kurangnya pengetahuan masyarakat terkait dengan pembibitan sayur.

REKOMENDASI
GAMBAR

Penulis : Departemen FoodSec dan Watsan
Editor : Erma Maghfiroh
Penerjemah : Erma Maghfiroh